Pemilihan rute dan persiapan telah dilakukan. Berdasarkan pengalaman tahun lalu, rencana pun telah disusun matang. Kami sedikit lebih santai, tapi bukan mudik namanya kalau rencana bisa berjalan lancar.
Bandung – Merak
Seperti tahun lalu, kami start dari Bandung jam 11 malam, langsung masuk tol. Tujuannya agar tiba di Merak jam 3 pagi dan langsung masuk kapal. Bedanya, tahun lalu saya berangkat seminggu sebelum lebaran, tahun ini kami melakukan kesalahan besar dengan memilih berangkat tanggal 21 Juni.
Kami tiba tepat jam 03.08 di exit tol Merak, dan langsung disambut dengan antrian kendaraan yang hendak menaiki kapal. Bayangan untuk sahur di kapal dan sampai di Bakauheni jam 6 pagi langsung buyar.
Mendung membayangi antrian kendaraan menaiki kapal
Tentu kami berhasil menaiki kapal… pada jam 8 pagi.
Begitu naik kapal, langsung cari tempat untuk istirahat, karena nanti harus melanjutkan etape berikutnya. Tapi jika anda kebetulan dapat kapal KM Salvatore (hi pak nahkoda!) seperti yang kami alami. Istirahat hanya tinggal mimpi, karena kapal ini ada live musik dangdut sepanjang perjalanan yang kekencangan suaranya ngalahin suara konser Dream Theatre di pantai Ancol.
Kelelahan, akhirnya saya sempat terlelap, entah berapa menit.
Bakauheni – Liwa
Beberapa ratus meter setelah turun dari kapal, gerbang tol lintas Sumatera yang baru dibangun pun terlihat, sayangnya belum bisa dilewati. Perjalanan dilanjutkan lewat jalur biasa yang padat oleh pemudik, tapi tidak sepadat di Jawa tentunya.
Sedikit selepas kota Bandar Lampung, kami berhenti untuk beristirahat. Jam menunjukkan jam 13.30, kami berusaha untuk tidak berhenti terlalu lama karena sudah pasti kemalaman sampai di Liwa.
Sebelum berangkat kembali, saya menyalakan mesin agar kabin bisa didinginkan oleh AC, selepas itu saya membuka bagasi untuk menaruh kembali peralatan sholat yang tadi di keluarkan. Barulah saya tersadar kalau kedua lampu mundur saya menyala permanen.
Selalu bawa zip tie
Usut punya usut ternyata konektor switch mundur pada transmisi kemasukan air dan menyebabkan konslet, sepertinya karet seal pada konektor tersebut sudah tidak bisa lagi menahan agar air tidak masuk.
Entah dari mana air tersebut, padahal sejak dari Bandung tidak terjadi hujan.
Sementara konektor dicabut dan diikat menggunakan zip tie, lampu mundur pun mati permanen. Perbaikan akan saya lakukan sepulang mudik nanti.
Maghrib tiba dan kami belum mencapai Kotabumi, kami pun memutuskan untuk lanjut dan tidak berhenti. Buka puasa dilakukan di mobil dengan minuman dan snack seadanya. Jalan masih padat, ini memang masih lintas tengah dan lalu lintas masih tercampur antara pemudik ke arah Bengkulu, Padang, dan Palembang.
Sekitar 19.00 kami pun tiba di Kotabumi, dan berhenti untuk makan malam. Setelah kota ini, di Bukit Kemuning, pemudik akan terpecah, jalur yang akan kami lalui ke arah Liwa, cenderung lebih sepi. Saya berharap dapat mengejar ketinggalan dan tiba di check point kami di kota Liwa.
Pagi berikutnya, mejeng dulu di depan hotel
Kami tiba di Liwa sekitar jam 22.00, dan langsung masuk ke hotel. Hotel kami menginap, Sahabat Utama mungkin bukan hotel yang mewah. Tapi kami suka kamar mandinya yang bersih, kamarnya yang luas, tidak ada AC tetapi tidak masalah karena udara di Liwa sangat dingin, dan yang paling penting, tarifnya yang murah.
Hotel ini juga memberikan sarapan gratis atau sahur gratis jika masih masuk bulan puasa.
Liwa – Bintuhan
Pagi di Liwa, kami di sambut oleh kabut. Di etape inilah mata akan dipenuhi dengan pemandangan yang indah sepanjang jalan nanti.
Sebenarnya pemandangan antara Bukit Kemuning hingga Liwa tidak kalah indah, sayangnya kami melewatinya pada malam hari.
Mobil pun dipanaskan sebelum melanjutkan perjalanan.
Sejauh ini kami telah menempuh 570km dan bensin tinggal satu strip lebih sedikit. Krui, tempat kami akan mengisi bensin, masih sekitar 30km jauhnya melewati Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Tentu saja setibanya kami di Krui, Pertamax habis dan antrian Premium mengular tumpah hingga ke luar dari area pom bensin. Tidak ada lagi pom bensin setelah ini hingga 100km jauhnya di Bintuhan.
Pemandangan ini jauh lebih indah dari pada melihat jarum penunjuk bensin
Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa mengisi bensin.
Istri saya tampak khawatir. Berkali-kali ia bertanya apakah bensin kita masih cukup hingga akhirnya ia tertidur. Saya lebih memilih untuk menikmati pemandangan dan mengalihkan perhatian dari isi tangki yang semakin menipis.
Beberapa kali kami melewati penjual durian yang memang kini sedang musimnya.
Bintuhan – Bengkulu
Kami berhasil. Kami berhasil mencapai pom bensin di Bintuhan dengan posisi jarum penunjuk bensin pada garis merah.
Tapi pom bensin dalam keadaan kosong. Secarik kertas tertempel pada mesin pompa bensin yang menyatakan kalau para petugas sedang melaksanakan sholat Jum‘at. Kami pun memutuskan beristirahat disana. Saya berjalan menuju masjid yang terletak persis di sebelah pom bensin. Lima menit kemudian adzan dzuhur berkumandang.
Manna, di belakang barisan kelapa terdapat lautan yang luas.
Perjalanan berlanjut setelah tangki terisi penuh kembali. Sekitar jam 15.00 kami tiba di Manna, dan beristirahat di kedai miso favorit kami yang juga menyediakan kelapa muda. Kedai ini tidak akan anda temukan jika anda memilih jalur utama melewati pusat kota Manna.
Tentunya saya di kedai itu hanya untuk menonton istri dan anak saya yang memutuskan untuk tidak berpuasa, meminum kelapa muda dan makan miso sepuasnya.
Sebuah Insiden
Kami tiba di kota Bengkulu sekitar jam 19.00, lebih lambat dari perkiraan. Rupanya kondisi jalan dari Tais, setelah Manna, lebih buruk dari tahun kemarin. Apa ini ada hubungannya dengan ditangkapnya Gubernur Bengkulu? Entahlah.
Kami menemukan banyak lubang kejutan, dimana kendaraan dapat dipacu kencang dan kemudian tiba-tiba lubang di jalan muncul entah dari mana. Harus ekstra hati-hati, meskipun tidak dibutuhkan mobil khusus off-road untuk melaluinya.
Kami menghabiskan malam di rumah kakak istri saya.
Lakban bening penyelamat
Pagi hari saya tersadar kalau lis pintu kiri belakang terlepas. Mungkin karena sempat beberapa kali menghajar lubang kejutan kemarin. Lakban bening pun menjadi solusi.
PR perbaikan bertambah saat pulang kelak.
Bengkulu – Curup
Perjalanan ke Curup dilakukan beriringan dengan keluarga kakak istri saya.
Banyak hal yang bisa dilakukan pada etape ini. Melihat bunga raflesia mekar, ngopi di Taba Penanjung sambil melihat pemandangan dari atas bukit, mandi di mata air pinggir jalan, belanja suvenir di Kepahiang, atau membeli semangka di Ujan Mas.
Tapi kami tidak melakukan itu, dan langsung menuju Curup, karena orang tua istri saya sudah menunggu.
Realita Mudik
Pada akhirnya, perjalanan mudik ini memakan jarak 1006,2km jauhnya.
Trip meter Estate mentok di 999.9km, dan kembali lagi ke 0km setelah itu.
Tentu saja banyak yang tidak sesuai rencana. Tapi setidaknya ada satu rencana yang berhasil, yaitu berhasilnya Chevrolet Estate mengantar saya mudik ke kampung halaman tanpa mogok di jalan.
Amazing.
Sayangnya belum ada sistem diskusi yang diimplementasikan di website ini. Gatal ingin berkomentar? Kesini saja.